Monday, 10 October 2022

JURNAL REFLEKSI DWIMINGGUAN MODUL 2.3 COACHING

 



MODEL DISCROLL

Model ini diadaptasi dari refleksi yang digunakan pada praktik klinis (Driscoll & Teh, 2001). Model yang dikenal dengan Model “What?” ini pada dasarnya terdiri dari 3 bagian.

What

Pada dwimingguan ini saya telah mempelajari Modul 2.3. Pembelajaran dimulai dari diri yang mana saya diminta untuk merefleksi kegiatan supervisi akademik yang pernah terjadi di sekolah yang biasanya dilakukan oleh kepala sekolah setiap semester 1 kali atau oleh pengawas satuan pendidikan/pengawas mata pelajaran dari Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga kabupaten Bangka. Dalam sesi ini saya menceritakan bagaiman supervisi itu dilakukan. Selanjutnya, saya memasuki kegiatan eksplorasi konsep yang saya pelajari adalah tentang Coaching. Konsep – konsep baru yang saya pahami diantaranya prinsip coaching, kompetensi coaching, video raktik coavhing disemua jenjang pendidikan baik luring maupun daring dan kegiatan supervisi klinis. Pada ruang kolaborasi saya dan teman CGP melalukan praktik coaching secara bergantian dalam peran sebagi Coach dan Coachee. Ini menjadi pengalaman berharga bagi saya. Dengan latihan ini memperkuat pemahaman saya tenang coaching yang selama belum begitu saya kuasai. Pada tahap Demonstrasi Kontekstual, saya melakukan praktik coaching dengan rekan sejawat. Praktik berlangsung secara informal untuk menggali potensi rekan sejawat sebagai coachee dalam menentukan komitmen diri menyelesaikan masalah yang dihadapi. Kegiatan ini sangat seru. Kami bak seorang artis yang melakukan syuting dalam memerankan sebuah scene menjadi coach, coachee dan pengamat. Secara bergantian saya, Lisa dan Sofia bergantian memerankannya. Kegiatan demonstrasi kontekstual ini saya lakukan secara luring sehingga lebih menantang dalam melakukan coaching. Pada tahap akhir, ada sesi elaborasi pemahaman yang semakin menguatkan pemahaman saya terkait praktik coaching. Beberapa di antaranya, yaitu Tut Wuri Handayani mindsetMindset ini menempatkan murid sebagai mitra belajar, mengandung kasih dan persaudaraan, bersifat emansipatif, dan merupakan ruang perjumpaan pribadi. Selain itu juga mendapat wawasan tentang paradigma pendampingan coaching sistem AMONG. Paradigma tersebut meliputi apresiasi, rencana, tulus, dan inkuiri.

So, What

Jujur ketika memasuki modul 2.3 itu saya kurang antusias. Saya merasa coaching sulit saya lakukan. Saya juga merasa saya akan menemukan banyak kendala dll ternyata setelah saya masuk ke sesi eksplorasi konsep midset saya berubah. Ketidakantusiasan saya terpatahkan. Saya merasa coaching adalah jawaban dari pengalaman – pengalaman yang pernah saya lakukan ketika ditugaskan oleh kepala seklah sebagai supervisor. Selama ini ketika saya jadi supervisor saya lebih fokus pada kekurangan. Saya sangat bahagia mempelajari Modul 2.3 ini. Saya merasa tergugah dengan paradigma – paradigma baru dalam menggali potensi seseorang murid saya. Jika selama ini supervisi akademik lebih kearah mencari kelemahan guru yang disupervisi, namun dengan coaching baik supervisor maupun guru yang disupervisi merasakan kesetaraan, fokus dalam memberdayakan potensi coachee. Sejalan dengan pemikiran KHD bagaimana seorang guru perlu meuntun tumbuh kembangnya kekuatan kodrat alam siswa tentu dalam menggalinya coaching menjadi cara yang bisa dilakukan.

Now What

Coaching tentu merupakan hal yang sangat baru bagi saya. Selama ini saya lebih sering mengenal mentoring, training, dan konseling.  Melakukan hal baru membutuhkan kekuatan dan kemampuan. Tidak terkecuali praktik coaching dalam komunitas sekolah. Hal baru adalah terkait penerapan coaching sebagai mindset dalam proses pembelajaran. Pada dasarnya coaching sudah dilakukan, sehingga dengan perubahan mindset dapat menjadikan coaching sebagai pembiasaan. Pelaksanaan coaching dalam komunitas di sekolah tentu tidak bisa sendiri. Sebagai kegiatan yang kolaboratif, praktik coaching membutuhkan dukungan dari banyak pihak terutama sebgai coachee. Bagaiman saya dapat membuat rekan sejawat atau murid untuk coaching. Bentuk dukungan yang saya harapkan adalah adanya masukan terhadap praktik coaching yang saya lakukan. Selain itu, dukungan berupa komitmen dari rekan sejawat untuk terus terlibat dalam kegiatan coaching. Baik itu sebagai coachee maupun coach. Ini merupakan dukungan utama agar praktik coaching menjadi budaya positif dalam komunitas di sekolah. Dukungan dari pihak sekolah juga sangat dibutuhkan dalam bentuk izin menyelenggarakan coaching maupun penguatan terhadap komunitas yang ada. Selain itu, dukungan dari orang tua berupa peran aktif memberikan laporan terkait permasalahan anaknya selama belajar di rumah.

Rencana terdekat adalah lebih sering praktik melakukan coaching secara nyata baik dengan rekan sejawat maupun murid. Sedangkan hal baik yang bisa saya bagi kepada rekan sejawat di sekolah adalah bahwa praktik coaching ini sangat membantu guru dan murid dalam menyelesaikan masalah oleh dirinya sendiri berdasarkan potensi yang dimiliki. Selain itu, dengan adanya jadwal berbagi dalam komunitas praktisi akan membuat praktik coaching ini sebagai budaya positif di sekolah.

 


No comments:

Post a Comment

Logo SMP Muhammadiyah Sungailiat

 Logo Terbaru SMP Muhammadiyah Sungailiat