Assalamualaikum
Warrahmatullah Wabarokaatuh.
Budaya
positif merupakan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di
sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi
yang berkarakter, unggul dan mandiri.
Dalam
menciptakannya guru penggerak tidak dapat berdiri sendiri. Diperlukan adanya kerjasama
dengan seluruh stakeholder yang ada baik dari dalam maupun dari luar
sekolah seperti Yayasan/Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), Kepala
Sekolah, rekan guru, komite, murid dan orang tua yang dapat mendukung
pelaksanaan budaya positif. Penerapan budaya positif pada Kegiatan Belajar Mengajar
(KBM) di sekolah sangat erat kaitannya dengan nilai – nilai kebajikan. Sebagai contoh penerapan budaya positif ‘berpakaian’ akan menanamkan
keseragaman dan tanggung jawab. Melalui pembiasaan itu murid dapat memakai baju
sesuai jadwal yang ditentukan untuk keseragaman dan kesenjangan sosial.
Modul
1.1, 1.2, 1.3 dan 1.4 memiliki hubungan erat dan saling mendukung antara satu
dengan yang lainnya. Budaya positif dilaksanakan sesuai dengan tujuan
pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara yaitu menuntun segala kodrat alam yang
ada pada anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Menuntun tumbuh kembangnya atau hidupnya sesuai kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat
anak. Oleh karena Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan adalah tempat
bersemainya benih-benih kebudayaan.
Seorang
guru layaknya seorang petani dalam menuntun murid untuk mengembangkan dan
meningkatkan potensi sesuai kodrat alamnya. Tujuan budaya positif yakni agar
menjadi murid yang berprofil pelajar Pancasila (beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan YME, mandiri, bernalar kritis, kreatif, gotong royong, dan berkebinekaan
global). Dalam menyusun program budaya positif juga diperlukan kolaborasi
dengan murid sperti penerapan kesepakatan kelas, keyakinan kelas, dan segitiga
rstitusi. Murid diajak membuat suatu kesepakatan yang berpihak pada murid.
Seorang guru penggerak harus memiliki
nilai dan peran guru penggerak dalam melaksanakan budaya positif di sekolah. Antara lain: mandiri,
reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid.
Budaya
positif juga bagian dari visi guru penggerak. Budaya positif dapat mewujudkan
visi guru penggerak yang kedepannya akan menjadi visi sekolah impian. Yaitu "Mewujudkan Murid yang Berkarakter dan Unggul
melalui merdeka belajar". Untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan
adanya kolaborasi kekuatan positif yang ada baik dari dalam maupun dari luar
sekolah. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pendekatan Inkuiri Apresiatif
(IA) dengan tahapan BAGJA (Buat pertanyaan, Ambil pelajaran, Gali impian,
Jabarkan rencana, dan Atur eksekusi). Inkuiri Apresiatif adalah suatu
pendekatan berbasis kekuatan positif yang dimiliki sekolah dan saling menguatkan
untuk mewujudkan visi tersebut.
Dari
sinilah, peran guru penggerak sangat penting sebagai penggerak kebiasaan baik
kepada guru lain dalam membangun budaya positif di sekolah seperti ;
👉Menjadi teladan bagi
murid dan guru lain.
👉Menjalin kolaborasi
dengan rekan guru lain dan seluruh warga sekolah dalam melaksanakan budaya
positif
👉Menggerakkan komunitas
praktisi yang ada di sekolah
👉Menjadi coach bagi
guru lain serta mampu menjadi pemimpin dalam pembelajaran yang berpihak pada
murid
Guru
penggerak dapat menumbuhkan budaya positif di kelas menjadi budaya positif di
sekolah dan menjadi visi di sekolah. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara:
1. Mulai dari diri sendiri
dalam menumbuhkan budaya positif di kelas dan keteladan yang dapat dicontoh
oleh seluruh warga sekolah.
2. Mensosialisasikan budaya
positif kepada Kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan dan murid.
3. Kolaborasi dengan pihak terkait.
4. Lakukan perubahan secara konsisten,
sabar, dan positive thinking terhadap penolakan gagasan dan pelanggaran.
5. Mefleksi setiap tindakan yang dilakukan.
Dalam menerapkan budaya positif seorang guru tidak
perlu meyakiti siswa dengan hukuman. Ketika murid mengalami masalah kita sebaiknya
mengambil posisi kontrol manager dengan menerapkan segitiga restitusi agar
siswa dapat menyakini nilai kebajikan yang diyakini, memberikan kesempatan
siswa mencari solusi yang dihadapinya.
Ini menjadi pengalaman baru saya. Pengalaman
belajar modul 1.4 ini merubah paradigma saya dalam menangani masalah yang
terjadi di sekolah. Selama ini saya masih berada pada posisi penghukum dan
pemantau. Mari bergerak menuju guru yang lebih baik.
Selama mempelajari Modul 1.1 sampai 1.4 saya
sangat antusias dan bersemangat. Mulai modul 1.1 yang membuat saya
akhirnya sering melakukan ice breaking, belajar diluar kelas, belajar sambal bermain
permainan daerah yang ternyata banyak siswa belum permainan tradisional ini. Modul
1.2 menguatkan nilai dan peran saya sebagai guru. Modul 1.3 bagaimana saya
merancang visi dan Modul 1.4 merupakan modul dengan materi yang luar biasa. Materi
yang menjawab segala tanyaku cara mengatasi kasus siswa di sekolahku. Saya juga
ingin tahu akan ada hal baru apa lagi nanti,
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarokaatuh
Salam
Guru Penggerak
Salam dan Bahagia
Mantaaap
ReplyDeleteTerimakasih Aisyah
DeleteYuuup..modul 1.1 smpai 1.4 saling terkait. Kereen yuk.. Lanjutkan.
ReplyDeleteMkasi sa, menghidupkan kembali blog yg lama ditinggalkan 😁😁
ReplyDelete